Ijtihad adalah sebuah jalan yang telah digariskan dan komitmen pada program tertentu.Semua fakih dan mujtahid telah sepakat dalam prinsip-prinsip dan masalah-masalah utama ijtihad.Pada hakikatnya, ijtihad tidak lebih dari proses pencarian hukum Allah; hukum yang telah Ia sampaikan kepada para hamba-Nya dalam al-Quran atau wahyu kepada Rasul-Nya. Ijtihad dilakukan dengan metode dan sarana keilmuan khusus yang mesti dicamkan siapa pun tanpa terkecuali. Oleh karena itu, ijtihad bagi para periset memiliki kaidah dan prinsip permanen dalam proses penafsiran teks syariat, sehingga ijithad bisa menjadi salah satu faktor pendekatan antarmazhab, bukan faktor perpecahan dan pertikaian.
1. Pelanggaran (khilaf) dan Perbedaan (ikhtilaf) Perbedaan dalam masalah-masalah cabang
(furu`) adalah salah satu kebutuhan manusia yang tak bisa dikesampingkan; juga tak membahayakan persatuan umat. Buktinya, masyarakat yang berada dalam satu barisan kadang berbeda pandangan satu sama lain. Bahaya yang dikhawatirkan adalah yang muncul dari pelanggaran (khilaf), bukan perbedaan (ikhtilaf). Keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Oleh karena itu, para ulama dan fukaha berbeda pandangan dalam memahami kitab Allah. Perbedaan ini khususnya terjadi dalam hal yang berkaitan dengan ijtihad dan argumentasi. Perbedaan ini bukan karena mereka hendak menentang atau menyalahkan pihak lain. Perbedaan yang muncul dari (perbedaan) pemahaman -yang tak ada unsur kesengajaan untuk menentang pihak lain- sama sekali tidak menyebabkan perpecahan dan pertikaian antarmazhab. Dua Kata ‘khilaf' dan ‘ikhtilaf' berasal dari akar kata ‘khalafa'; yang bila dicermati, kita akan mengetahui perbedaan antara makna dua kata ini. Makna ‘khilaf' adalah penentangan dan pelanggaran perintah. Terkait hal ini, Allah berfirman, Hendaknya orang-orang yang melanggar perintah Allah waspada akan ujian atau azab yang akan menimpa mereka (al-Nur: 63). Al-Quran tidak berkata-kata ‘yakhtalifuna `an amrihi' yang berarti perbedaan pendapat dalam perintah-Nya. Ayat lain mengatakan, Kami tidak menurunkan Al-Quran kepadamu kecuali untuk menerangkan hal yang mereka berbeda pendapat tentangnya (al-Nahl: 64).
2. Rahmat dan Terbukanya Keragaman Pendapat Fikih Hal yang bisa dikatakan di sini adalah bahwa perbedaan mazhab di tengah umat Islam adalah suatu berkah dan perkembangan bagi agama yang toleran ini. Tiap nabi sebelum Nabi Muhammad Saw diutus dengan satu syariat dan hukum. Lantaran ‘keminiman' syariat mereka, maka mereka hanya memiliki sedikit pilihan dalam banyak masalah cabang. Syariat Islam memiliki hukum-hukum yang bersifat general. Sedangkan perincian dan detil-detilnya diserahkan kepada para mujtahid, seperti yang disebut dalam hadis dari Mu'adz bin Jabal. Ini adalah salah satu prinsip perumusan undang-undang yang menelurkan hukum syar`i. Oleh karena itu, ijtihad dan keragaman pendapat yang muncul darinya, adalah suatu keniscayaan dalam syariat terakhir ini. Ini adalah rahmat Allah bagi para hamba-Nya dan tak ada bahaya di dalamnya. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Nabi Saw
bersabda,"Perbedaan di tengah umatku adalah sebuah rahmat." (al-Nawawi, 1/91) Terkait hadis
ini dan hal-hal yang berhubungan dengannya, Nawawi mengatakan, "Perbedaan dalam agama ada
tiga macam:
Pertama adalah yang berhubungan dengan pembuktian keberadaan dan keesaan Allah,
yang bila diingkari akan menyebabkan kekafiran.
Kedua adalah yang berhubungan dengan sifat dan kehendak-Nya, yang pengingkarannya
adalah bidah.
Ketiga adalah yang berhubungan dengan hukum-hukum furu` yang memiliki beberapa sisi
kemungkinan. Allah menjadikannya sebagai rahmat dan kemuliaan bagi para ulama. Inilah makna
dari hadis ‘perbedaan di tengah umatku adalah rahmat. Sebagian ulama yang menyibukkan diri dengan apa yang diasumsikan mereka sebagai ilmu fikih, turut memperluas perbedaan pendapat antara ulama. Meski demikian, penentangan terhadap argumen tetap dikecam. Di masa itu, para ulama menentang taklid dan mementingkan dalil. Mereka menolak fanatisme dan berpihak kepada kebenaran, di pihak manapun ia berada. Perbedaan pendapat para sahabat dan tabi`in, yang disusul para ulama dan mujtahid setelah mereka dalam banyak masalah fikih, adalah sebuah keniscayaan ilmiah. Ini adalah hal lumrah yang merupakan konsekuensi dari pemahaman terhadap teks-teks syariat. Ini bukan perbedaan pendapat yang lahir dari taklid buta dan fanatisme. Para pengikut masing-masing mazhab memiliki dalil tersendiri yang memuaskan mereka secara ilmiah. Sebab itu, mereka tidak berpaling dari mazhab mereka. Perbedaan pendapat antara para sahabat, tabi`in, dan mujtahid tidak menimbulkan permusuhan dan pertikaian di tengah mereka. Mereka saling mengundang satu sama lain dan bermakmum dalam shalat di belakang pihak lain. Namun para pentaklid mereka justru bersikap sebaliknya. Mereka saling bermusuhan, membenci satu sama lain, menghindar dari shalat di belakang penganut mazhab lain, dan mencacii Pihak yang berbeda pendapat dengan mereka.